Saat kita
berjalan dari arah Stasiun Tawang menuju arah Gereja Blenduk di kawasan kota
lama, disebelah kiri kita berdiri sebuah bangunan gedung kuno dengan dua patung
semut raksasa diatasnya. Terlihat jelas tulisan "Marabunta Gedung
Serbaguna" yang menempel pada tembok gedung tersebut. Terdengar sedikit
asing memang, tetapi gedung ini juga termasuk dalam salah satu bangunan kuno
berarsitektur Belanda yang berada di kawasan kota lama Semarang, selain Gereja
Blenduk, Polder Tawang, atau pun perkantoran kuno yang sering kita dengar.
Gedung yang
terletak di Jalan Cendrawasih ini berdiri sekitar tahun 1890 oleh Belanda, yang
digunakan sebagai tempat pertunjukan opera dan cafeteria bernama Schouwburg.
Disinilah keluarga Belanda menghabiskan akhir pekannya dengan menikmati
pertunjukkan komedi, orchestra, pertunjukan balet dan sebagainya. Bangunan ini
sempat mengalami kerusakan akibat air rob dan roboh sehingga yang tersisa hanya
sebagian dari banguanan aslinya. Pada
tahun 1956 gedung marabunta dikelola Yayasan Rumpun Diponegoro Kodam IV
Diponegoro Semarang yang selanjutnya dijadikan kantor oleh PT. Marabunta
Semarang. Dari sisa-sisa bangunan yang berhasil diselamatkan, Gedung Marabunta
dibangun kembali disebelahnya sesuai dengan bentuk bangunan lama.
Keunikan bangunan
ini adalah pada dua patung semut raksasa yang berdiri di sisi kanan dan kiri atap gedung. Saat
melintas didepan gedung ini, kita seakan terkesima dan tidak percaya bahwa saat
ini kita berada di Kota Semarang. Arsitektur bagian depan gedung dengan pagar
bernuansa klasik Belanda menambah keindahan bangunan ini. Teras bangunan tampak
empat kolom tinggi menjualng khas arsitektur Eropa . Saat masuk ke dalam gedung
pandangan kita benar-benar tertuju pada setiap sudut ornament didalamnya yang bernuansa Klasik
Eropa. Kita terasa seperti didalam sebuah kapal yang terbalik, karena atap
gedung ini menyerupai perahu terbalik
yang tersusun dari kayu berwarna coklat. Dibagian dinding gedung juga terdapat
jarring-jaring kapal yang meintang. Untuk
memperkuat kesan seolah berada di sebuah kapal, pada sisi kanan depan
ruang terdapat mini bar berbentuk kapal. Pada tahun 1999 gedung ini pernah
dijadikan café tempat kunjungan para importer asing yang datang ke Semarang.
Oleh seorang Pengusaha, gedung ini dijadikan tempat persinggahan para importer
asing yang datang ke Semarang. Gedung yang dulunya tempat pertunjuukan seni
disulap menjadi sebuah café yang ramai dan terkenal kala itu. Menurut Bapak
Paiman yang merupakan penjaga Gedung Marbunta, ketika para pengusaha asing datang
ke Semarang, yang ada dibenak meraka adalah Café Marabunta. Namun sayangnya,
café ini hanya bertahan selama 2 tahun saja mengingat situasi ekonomi yang
sulit pada saat itu.
Adapula belasan
kipas angin kuno yang menggantung diruangan yang kehadiharannya mampu
menggantikan penyejuk ruangan. Kesan klasik semakin diperkuat dengan ornament
kaca patri pada jendela dan pintu bergambar seorang noni Belanda. Gambar
tersebut memvisualisasikan kisah penari
balet bernama Putri Matahari yang sedang menari. Konon, putri matahari
ini adalah seorang penari balet terkenal, yang menikah dengan serdadu Belanda.
Lalu ada juga visual bangsawan Eropa yang sedang menikmati sajian pertunjukan
yang terpampang pada kaca dinding gedung.
Melihat keluar
gedung, terdapat tangga klasik melingkar dan tumbuhan hijau yang tumbuh
menjalar diluar gedung menambah sejuk gedung marabunta ini. Pengelola sengaja
membuat pagr dan tembok diluar ruangan terbungkus daun-daun yang menjalar, agar
semakin menambah kesan rimbun dan sejuk pad gedung ini.
Arsitekturnya
yang bernuansa klasik Eropa, menjadi daya tarik bagi gedung ini sebagai tempat
foto prewedding, atau untuk hunting foto bagi para fotografer. Sesuai dengan
slogannya “Marabunta Gedung Multiguna” gedung ini juga dijadikan tempat konser music
ataupun tempat melangsungkan pesta pernikahan. Keklasikan Gedung Marabunta
terlihat pada tiap-tiap sudut bangunnnya.
Saat memasuki
ruangan gedung, mata kita seakan tertuju pada sudut kanan ruangan. Sangat unik
sekali, umumnya mini bar hanya berbentuk meja panjang biasa, tetapi disini mini
bar dibentuk menyerupai perahu yang dilengkapi atap runcing menyerupai rumah
Gadang yakni adat Sumatera Barat. Menurut penjaga gedung, Bapak Paiman,
bangunan mini bar ini terbilang baru. Konon ada seorang pengusaha asal Sumatera
Barat yang mendirikan sebuah cafe ditempat ini. Sehingga gedung yang dahulunya
berfungsi sebagai tempat pertunjukkan opera dan musik, berubah menjadi sebuah
cafe ternama di kota Semarang kala itu. Segmentasi cafe ini ditujukan bagi para
pengusaha asing dan importir yang singgah di Kota Semarang. Ketika berkunjung
ke Semarang, cafe Marabunta menjadi pilihan mereka untuk singgah dan menikmati
hidangan.
Ruangan ini
digunakan sebagai tempat pertunjukkan musik, opera dan tarian balet pada saat
itu. Meskipun ruangan sekarang bukanlah yang asli, tetapi mengingatkan kita,
saat sang penari Putri Matahari menampilkan tariann baletnya dihadapan ratusan
penonton. Hall yang sekarang telah berubah fungsi menjadi tempat diadakannya
berbagai acara seperti acara pernikahan, acara konser musik, ataupun dijadikan
tempat untuk hunting foto.
3. Lukisan Kaca Patri Putri Matahari
Merupakan visualisasi dari penari balet bernama
Margaretha Geertruida (Grietje) Zelle atau yang lebih dikenal dengan nama
panggung Putri Matahari. Margaretha lahir di Leeuwarden Belanda 7 Agustus 1876
dia menikah dengan Mayor Rudolph Mc Leod seorang perwira KNIL Angkatan Hindia
Belanda dan tinggal di Semarang. (sumber:www.zonasemarang.com). Awalnya
Margaretha mengawali karir nya di Benua Eropa tepatnya di Paris, dia sebagai
penari erotis. Dia mendapatkan keahlian itu dari erotic temple dance di India.
Keahliannya dalam menari tersebut membawa si putri menjadi terkenal dan
mendapat tawaran untuk pentas di banyak Negara waktu itu. Dengan demikian
Lukisan Putri Matahari juga merupakan symbol utama dari Gedung Marabunta,
selain patung semut yang berada di atap bangunan.Dengan symbol Putri Matahari yang berada di depan pintu
masuk gedung marabunta tersebut menjelaskan bahwa dulunya gedung itu sering
dipakai sebagai seni pentas drama, tari dan musik di Semarang.
Tangga besi yang melingkar di luar gedung ini
menambah nuansa klasik gedung marabunta. Tangga tersebut di bangun tepat di
samping pintu samping gedung Marabunta, yang menghubungkan antara hall dan
kantor yang berada di lantai dua (2).
Sebenarnya bukan klasik sih mbak mestinya udah modern architecture itu... Nama nya Art Nouveau Style.
BalasHapus